Pages

Saturday, January 27, 2018

NHW #1 : Adab Menuntut Ilmu

Assalamualaikum Wr Wb..

Bismillahirrahmanirrahim..

Sebenarnya jangan dicontoh ya ini kerjain tugas mingguannya di waktu yang mepet. Hehe. Materi tugas sudah disampaikan fasilitator di awal pekan ini, tapi Saya baru sempat menulis kemarin di postingan sebelumnya. Niatnya mau bikin postingan jawaban tugas, tapi begitu kata-kata mengalir, kok ya lebih pas dijadiin postingan review materi dulu ya. hehe. Memang ya kalau sedang punya bayi, hari demi hari bahkan menit demi menit rasanya cepat sekali. Ok, mari kita mulai saja ya :)

ILMU, yang menurut Saya merupakan salah satu landasan hidup, mempunyai ragam jenis yang tak terhingga. Karena setiap aspek di dunia ini terbangun oleh ilmu. Tidak hanya di sekolah, di rumahpun banyak sekali ilmu yang harus dipelajari agar rumah menjadi penuh makna. Semenjak Saya berkomitmen untuk tidak meneruskan karier di kantor dan memilih produktif dari rumah, Saya merasa banyak sekali ilmu kehidupan yang belum sukses Saya jalani.

Salah satu ilmu kehidupan yang ingin Saya tekuni yaitu ILMU IKHLAS DAN SABAR. Entah akan berapa kali remedial atau bahkan gak naik kelas ya kalau ilmu tersebut ada di pelajaran sekolah. Saya merasa masih buruk sekali baik dalam pengetahuan maupun pengamalan akan ikhlas dan sabar. Di berbagai aspek kehidupan yang sedang Saya jalani, yang dimana mayoritas berkaitan dengan peran kewanitaan Saya baik menjadi wanita itu sendiri, istri dan ibu.

Mengapa Saya memilih ilmu tersebut? karena Saya ingin menjadi orang yang pandai bersyukur. Tanpa landasan sabar dan ikhlas, buat Saya, cukup sulit untuk merasakan syukur yang sebenarnya. Lalu memangnya selama ini Saya tidak bersyukur? mungkin Saya bisa jawab, ya pastilah bersyukur. Sudah ada suami dan 2 anak yang sehat Insya Allah, kurang apa coba? Nah itu, letak kesalahannya. Saya mungkin tidak sabar untuk menahan diri mengakui apa yang Saya punya, yang bisa saja orang lain belum punya. Saya mungkin tidak ikhlas menerima bahwa mungkin masih banyak kekurangan di diri suami dan anak, sehingga hanya yang baik-baiknya saja yang ditampilkan kepada dunia luar. Padahal, justru ilmu sabar dan ikhlas itu sangat Saya butuhkan dalam peran sebagai istri dan ibu.

Selama ini seringkali Saya mempunyai keinginan perubahan ini itu, apalagi jika habis mengikuti seminar parenting, rasanya menggebu-gebu ingin berubah. Tapi perubahan itu gak berlangsung lama, selalu kalah dengan syaiton hawa nafsu. Nafsu marah-marah dan nafsu mengeluh. Apa mungkin karena Saya tidak pernah mengatur strategi dan target dengan nyata? Di pertanyaan berikutnya, Saya diminta untuk mengutarakan bagaimana strategi menuntut ilmu yang Saya pilih tadi.

Pertama, pastinya jika ingin meraih ilmu maka BACA. Ilmu teori merupakan tahap awal progress ilmu itu bisa dicapai faedahnya. Insya Allah Saya akan lebih sering membaca dan mengkaji pedoman hidup yang masih sering Saya abaikan (ya Allah malu sebenarnya menulis ini), padahal disitulah sumber teori paling lengkap yang mencakup ilmu sabar dan ikhlas, yaitu Alquran dan Hadist.

Lalu, berikutnya Saya akan membuat jadwal kegiatan sehari-hari baik untuk Saya, suami dan anak-anak. Loh, ada hubungannya kah? menurut Saya sih, ada. Lebih tepatnya ini merupakan ikhtiar, mungkin karena ketidakteraturan itu lah yang membuat Saya dan seisi rumah jadi tidak bisa menyiapkan hati untuk apapun yang terjadi berikutnya. Misalnya, Saya yang waktunya harus pantau HP karena suatu hal, akan jadi bentrok dengan keinginan anak minta ditemani bermain. Jika sudah terjadwal, karena terbiasa nantinya, mungkin anak akan tau jam sekian adalah waktunya ibu pantau HP, jadi anak sudah menyiapkan hati untuk menerima kenyataan tidak bisa bermain dulu dengan ibu saat itu. Sehingga, tindakan berikutnya yaitu memaksa, insya Allah tidak akan keluar dari anak. Dan reaksi ibu marah-marah akibat dipaksa saat ada kegiatan lain, juga jadi bisa diredam.

Belajar itu memang identik dengan perubahan. Jika kita menyerap ilmu, akan dilanjutkan dengan tindakan lalu berdampak pada reaksi.

Mengenai apa saja yang perlu dirubah atau diperbaiki dari sikap Saya berkaitan dengan ilmu sabar dan ikhlas, yang paling utama adalah REAKSI. Iya, Saya harus belajar ber-afirmasi positif di setiap kondisi agar reaksi yang keluar tidak sering negatif. Reaksi ini memang selalu jadi pemicu kekacauan berikutnya di rumah. Misalnya, lagi berbincang ringan dengan suami, eh mendengar jawabannya dengan intonasi (asumsi Saya) rada tinggi, titik emosi Saya langsung mengeluarkan reaksi negatif juga. Padahal, pengakuan suami bukan sedang marah, tapi reflek (yang diakuinya juga buruk) akan suatu hal yang dia pertanyakan. Miskomunikasi yang andaikan Saya memilih tidak seperti itu, mungkin pembicaraannya akan lebih indah. Iya, Saya harus lebih belajar lagi mengeluarkan reaksi-reaksi positif.

Di kedua ilmu ini, Saya tidak ingin belajar sendiri. Tentunya akan lebih selaras, jika Saya juga mengajak suami dan anak untuk membiasakan diri. Semoga Kami sekeluarga bisa semangat untuk berubah dan tentunya istiqomah.

Wassalamualaikum Wr Wb..

Review Materi Kelas Martikulasi Minggu Ke-1 (MIIPB5 BEKASI 1)

Assalamualaikum Wr Wb..

Bismillahirrahmanirrahim..

Ini postingan pertama Saya setelah melahirkan anak ke-2 pada tanggal 11 Januari 2018 lalu. Alhamdulillah, setelah melalui proses operasi caesar, anak ke-2 Kami (putra pertama) lahir dengan selamat dan Kami beri nama "Arshaka Rezqiano Adyaputro (Qiano)" yang insya Allah mempunyai makna yaitu putra Aditta dan Aditya yang kelak menjadi manusia yang murah hati, pandai bersyukur dan menjadi magnet rezeki bagi keluarga. Aamiin ya rabb..

Keputusan mengikuti kelas martikulasi Institut Ibu Profesional (IIP) batch ini sempat membuat Saya ragu. Apa bisa membagi waktu lagi di tengah kehadiran anggota keluarga baru yang pastinya butuh segala nya yang extra dari Saya pribadi. Tapi alhamdulillah dengan tekad dan support dari sekitar, Saya yakinkan BISA. Dengan harapan besar, hal ini menjadi pemicu Saya untuk bisa menjadi wanita, istri dan ibu yang lebihhhhh baik lagi.

Setelah se-pekan berlalu, dengan tema materi minggu ini yaitu Adab Menuntut Ilmu, cukup membuat banyak sentilan. Saat ber-diskusi dengan fasilitator dan teman-teman kelas di WAG beberapa hari lalu, menyisakan beberapa point penting yang bisa Saya bagikan disini, antara lain:

1. Ilmu Literasi Media.

Di zaman now, memang banyak sekali postingan atau artikel yang seliweran di lini maya, yang terkadang masih diragukan asal sumber dan kebenarannya. Seringnya kita terima info random yang dibagikan secara bebas di WAG atau tautan artikel di sosial media, membuat terkadang kita acuh atau bahkan larut dalam info tersebut sampai mengabaikan tahap kroscek atau bertanya sumber info kepada penyebar info. Salah satu bentuk menghargai ilmu/informasi adalah mengetahui penulis asli dan/atau sumber lainnya atas ilmu/informasi tersebut.

2. Sebarkanlah dengan cara Mengulas.

Kadang kita malas untuk membaca sampai tuntas suatu berita bahkan yang dianggap menarik. Dengan kemudahan klik tombol 'share' di media sosial, kita merasa sudah jadi bagian penyebar berita kekinian. Padahal, alangkah baiknya jika kita membaca dengan seksama, lalu mengutarakan pendapat atas informasi tersebut dengan ulasan yang santun. Karena itupun merupakan bagian dari menghargai suatu berita informasi.

Dua hal diatas berbekas sekali di Saya. Mudah-mudahan ada manfaat dari ulasan diatas yang juga bisa dirasakan.

Inti perubahan yang bisa dimulai setelah membaca ulasan ini adalah mari kita menjadi netizen yang santun ilmu dengan selalu kroscek kebenaran info dan/atau mencantumkan asal sumber info dan/atau mengulas suatu berita dengan pandangan pribadi agar makin banyak pembaca yang merasakan manfaat dari informasi tersebut. Iya, terkadang ada netizen yang lebih terpengaruh dengan tulisan sosial media influencer yang diikutinya.

Sebaik-baiknya tulisan adalah yang dapat membuat hati tergerak untuk bergerak. Karena perubahan dimulai dari hati yang tersentuh dilanjutkan dengan tindakan.

Wassalamualaikum Wr Wb..

Monday, January 1, 2018

Dilema di Awal Tahun 2018

Assalamualaikum wr wb..

Sesuai judul postingan kali ini, iya Saya lagi (tetiba) dilema. Bermula dari sebentar lagi masa liburan sekolah (playgroup) Kinan akan berakhir. Saya akan harus kembali dengan rutinitas antar jemput, atau menunggu dan aktif di kegiatan sekolah. Karena kebetulan Saya ini Ketua POMG di sekolah Kinan. wkwk.

Setengah tahun dengan rutinitas itu, Saya melihat banyak hal yang berubah dengan Kinan dan Saya, baik maupun buruk. Baiknya cukup Kami saja orangtuanya yang bersyukur. Buruknya, eh tapi mungkin bukan efek buruk ya, lebih tepatnya sesuatu yang tidak (/belum) tercapai. Saya melihat sisi kemampuan pengendalian diri Kinan belum ada perubahan yang signifikan. Saya review, evaluasi diri, dan coba mencari inspirasi, tombak nya itu ya di Kami, orangtuanya. Pasti ada yang salah. Sepertinya Kami salah goal di awal, visi misi menyekolahkan anak playgroup itu untuk apa? Payahnya, salah satu yang Kami harapkan adalah agar Kinan lebih pandai bersosialisasi (walopun ini gak salah juga) dan ada pihak lain yang membantu Kami untuk MENGUBAH Kinan menjadi lebih baik untuk pengendalian diri dan kesehariannya. Ini nih, kacau balau akhirnya.

Kok Saya terlalu fokus ke masalah pengendalian diri sih? kan namanya balita masih bisa dibilang wajar kalo suka crancky, belum bisa berbagi, tidak mau mengalah, bertingkah kurang sopan dengan lawan bicara, alias ya mereka lagi belajar ke arah lebih baik, maklumin dong harusnya. Kan kelebihan lainnya ada, anak jadi pintar membaca, menulis, berhitung, dll.

Duh duh duh... kondisi di paragraf sebelumnya ini, bikin Saya sedih dan galau. Gini gini, dari hasil review kegalauan yang akhirnya bikin Saya jadi sering baca. Saya menemukan ada 3 kemampuan yang seharusnya jadi target terhadap anak, yaitu :

1. Kognitif : intinya perihal kecerdasan akademis.
2. Afektif : intinya perihal kecerdasan emosional, minat, dan kehidupan.
3. Psikomotorik : intinya perihal kecerdasan raga.

Untuk nomor 1 dan 3, tidak Saya tetapkan sebagai goal utama. Walopun harapannya, Kinan bisa mengikuti segala tahap dengan baik juga tetap besar. Untuk nomor 2, Saya rasa itu udah dasar kehidupan ya, mau jadi apapun dia nantinya, kalo kemampuan afektifnya tidak dipupuk sejak dini, sepertinya Kami yang akan menyesal dan Kinannya sendiri yang akan merugi. Kami sepakat dengan teori golden age itu sampai umur 6 tahun, alias sebelum masuk SD deh. Kami masih punya waktu 2.5 tahun lagi, yang mana terlihat sebentar banget. PR Kami besar di sisi afektif. Tapi, Kami yakin Kinan anak yang mampu Kami arahkan. Cuma ya ini, orangtuanya juga perlu belajar banget gimana caranya jadi contoh yang baik. Secara Kami juga masih rock n roll jadi orangtua. Masih ada seenaknya dan mikir orangtua ya harus dituruti. Orangtua lebih benar.

Jadi, hubungannya apa dengan Kinan sudah sekolah playgroup tadi?

Salah gak ya kalo Saya mengambil kesimpulan, Kinan (dan Saya) gak nyaman dengan rutinitas sekolah? Hihihi. Sempat mikir Kami tuh belum siap. Terlihat dari Kinan yang cukup sering bolos. Kadang Kinan yang memang gak mau, kadang juga Saya yang gak semangat anterin sekolah (terlepas lagi hamil juga). Lalu, dilihat dari hasil rapot Kinan semester 1 kemarin, afektifnya masih kurang (ini gak heran karena Saya juga melihat langsung di kesehariannya), dan kognitif serta psikomotorik nya juga ada yang kurang tapi di poin-poin yang Saya gak sangka. Karena kalo dirumah dia bisa melakukan itu. Contohnya, kemampuan menggunting, membaca abjad, berhitung, senam, dll. Bukan, bukan Saya gak terima Kinan di kritik, tapi lebih ke "loh ini kenapa?". Jawaban yang Saya temukan adalah, Kinan tidak mau mengikuti instruksi guru nya. Lah, terus gimana dong, sekolah tapi gak ikutin instruksi guru? bingung kan? sama.

Sepulangnya dari terakhir Kami ambil rapot, evaluasi yang Kami lakukan masih tetap Kinan harus disemangatin sekolah. Saya mesti rubah pertanyaan setiap pagi dari "Kinan mau sekolah gak hari ini?" menjadi "Kinan yuk kita sekolah hari ini". Pertanyaan menjadi ajakan. Oke, itu ide bagus, akan Saya lakukan nanti. Saya terlalu terpaku dengan prinsip anak masih usia dini jangan dipaksa sekolah, tapi menurut guru dan ayahnya, benar prinsip itu tapi jangan diawali dengan kalimat pertanyaan. Khawatirnya, anak jadi berpikir, kalopun dia lagi gak mau, ya tidak apa-apa, sampai besar. Sampai memang sudah lebih diharuskan sekolah. Kalo Saya mikirnya gak gitu, akan ada waktunya dipaksa, tapi gak sekarang. Ya oke lah, perbedaan yang masih bisa Saya sesuaikan.

Saya dan suami memang kadang berselisih pendapat soal parenting, yang di dalamnya juga soal cara mendidik anak. Dua-duanya pasti bermuara ke sesuatu yang baik. Mungkin cara nya aja yang suka beda. Tapi, banyak juga hal yang sepaham. Oke, balik lagi ke dilema Saya tadi, jadi apa yang harus Saya lakukan? udah dapat poinnya belum sih kenapa Saya dilema? Gak ya? wkwk.

Intinya, Saya butuh insight, apa Saya baiknya menyelesaikan playgroup Kinan atau Saya stop sekarang sambil jalanin homeschooling sampai selesai masa playgroup (?)

Tujuan dari pertanyaan ini sebenarnya untuk evaluasi, kalopun Saya melanjutkan, Saya harus komitmen untuk lebih rajin, tapi Saya juga akan melahirkan anak kedua dan gak tau ritme nya akan dimana. Tapi, kalopun Saya berhenti sekarang, dan berniat homeschooling, apa Saya bisa komitmen untuk rajin membuat jadwal dan menemani Kinan dirumah? dan kreatif berkegiatan diluar agar sosialisasinya Kinan tetap terbina?

Saat ditulis ini, Saya belum diskusi apapun dengan ayahnya Kinan. Rencana yang akan dilakukan masih dengan hasil evaluasi kalo Saya dan Kinan harus lebih rajin. Bahkan ayahnya berencana untuk setiap pagi biar dia saja yang antar ke sekolah. Pulangnya baru dijemput Saya atau mbak. Jadi, Saya gak usah rutin menunggu lagi di sekolah. Kebetulan lagi masa-masa menunggu lahiran juga.

Mungkin itu dulu yang akan Kami lakukan. Semoga Kinan bisa membuat Kami lebih yakin apa yang seharusnya Kami lakukan.

Terima kasih sudah membaca keluh kesah Saya, hehe. Semoga dapat manfaatnya ya dengan meluangkan waktu untuk membaca postingan ini. Atau kalo ada pengalaman yang sama bisa sharing sekalian..

Wassalamualaikum wr wb..